A.
DASAR TEORI
Perkembangan
Intelegensi
Dalam pembahasan tentang perkembangan kognitif anak usia sekolah,
masalah kecerdasan atau intelegensi mendapat banyak perhatian dikalangan
psikolog. Hal ini adalah karena intelegensi telah dianggap sebagai suatu norma
yang menentukan perkembangan kemampuan dan pencapaian optimal hasil belajar
anak di sekolah. Dengan mengetahui intelegensinya, seorang anak dapat dikategorikan
sebagai anak yang pandai atau cerdas (genius), sedang, atau bodoh (idiot).
Pengertian Inteligensi
Intelegensi berarti kecerdasan. Intelegensi adalah kemampuan untuk
memperoleh berbagai informasi abstrak, menalar serta bertindak secara efisien
dan efektif. Intelegensi juga bisa diartikan sebagai kemampuan untuk
menyelesaikan masalah atau produk yang dinilai di dalam satu atau lebih latar
budaya. Pola intelegensi yang berbeda menyatukan perwakilan mental yang
berfokus pada perbedaan individual. Intelegensi sebagai keseluruhan kemampuan
individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah, serta kemampuan
mengalahkan menguasai lingkungan secara efektif (Baharuddin, 2009).
Intelegensi di definisikan oleh para ahli secara umum dapat
dimasukkan ke dalam salah satu tiga klasifikasi berikut :
1.
Kemempua
menyesuaikan diri dengan lingkungan, beradaptasi dengan situasi-situasi baru
atau menghadapi situasi-situasi yang sangat beragam
2.
Kemampuan
untuk belajar atau kapasitas untuk menerima pendidikan
3.
Kemampuan
untuk berpikir secara abstrak, menggunakan konsep-konsep abstrak dan
menggunakan secara luas simbol-simbol dan konsep-konsep (Phares, 1988).
Dalam mengartikan intelegensi ( kecerdasan ) ini,para ahli
mempunyai pengertian yang beragam. Diantara pengertian intelegensi itu adalah
sebagai berikut.
1)
C.P.
Chaplin (1975) mengartikan intelegensi itu sebagai kemampuan menghadapi dan
menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan evektif.
2)
Anita
E. Woolfolk (1995) mengemukakan bahwa menurut teori –teori lama,intelegensi itu
meliputi tiga pengertian, yaitu :
a)
Kemampuan
untuk belajar
b)
Keseluruhan
kemempuan untuk berdaptasi secara berhasil dengan situasi baru atau lingkungan
pada umumnya.
c)
Satu
atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam
rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan ligkungan.
3)
Binet
(Sumadi S., 1984) menyatakan bahwa sifat hakekat intelegensi itu ada tiga
macam, yaitu :
a)
Kecerdasan
untuk menetapkan dan mempertahankan tujuan tertentu. Semakin cerdas seseorang,
akan semakin cakaplah diamembuat tujuan sendiri, mempunyai inisiatifsendiri
tidak menunggu perintah saja.
b)
Kemampuan
untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan tersebut.
c)
Kemampuan
untuk melakukan otokritik, kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah
dibuatnya.
4)
Raymon
Cattel dkk. (Kimble dkk., 1980) mengklasifikasikan intelegensi kedalam dua
kategori, yaitu :
a)
Fluid
Intelegence, yaitu tipe kemampuan analisis kognitif yang relatif tidak
dipengaruhi oleh pengalaman belajar sebelumnya.
b)
Crystallized
inteligence, yaitu ketrampilan-ketrampilan atau kemampuan nalar yang
dipengaruhi oleh pengalaman belajar sebelumnya.
Pengukuran
Inteligensi
Inteligensi pada setiap anak tidak sama. Untuk mengukur
perbedaan-perbedaan kemampuan individu tersebut, para psikolog telah
mengembangkan sejumlah tes inteligensi. Dalam hal ini, Alfret Binet
(1857-1911), seorang dokter dan psikolog perancis, dipandang secara luas sbagai
orang yang paling berjasa dalam mempelopori pengembangan tes inteligensi ini.
Tes inteligensi yang dirancang Binet ini berangkat dari konsep usia
mental ( Mental Age-MA) yang dikembangkannya. Binet menganggap anak-anak
yang terbelakang secara mental akan bertingkah dan berkinerja seperti anak-anak
normal yang berusia lebih muda. Ia mengembangkan norma-norma intelegensi dengan
menguji 50 orang anak-anak dari usia 3 sampai 11 tahun yang tidak terbelakang
secara mental. Perbedaan anatara usia mental (MA) dengan usia kronologis (CA)-
usia sejak lahir- inilah yang digunakan sebagai ukuran inteligensi. Anak yang
cerdas memiliki MA di atas CA, sedangkan anak yang bodoh memiliki MA di bawah
CA.
William Sterm (1871-1938), seorang psikolog Jerman, kemudian
menyempurnakan tes inteligensi Binet dan mengembangkan sebuah istilah yang
sangat populer hingga sekarang, yaitu Intelligence Quotient (IQ). IQ menggambarkan
intelegensi sebagai rasio antara usia mental (MA) dan usia kronologis (CA),
dengan rumus:
IQ= x
100
Tabel 6.1
Kasifikasi IQ
IQ
|
Klasifikasi
|
Tingkat Sekolah
|
Di atas 139
120-139
110-119
90-109
80-89
70-79
Di bawah 70
|
Sangat Superior
Superior
Di atas rata-rata
Rata-rata
Di bawah rata-rata
Borderline
Terbelakang secara mental
|
Orang yang sangat pandai
Dapat menyelesaikan studi di universitas tanpa banyak kesulitan
Dapat menyelesaikan sekolah lanjutan tanpa kesulitan
Dapat menyelesaikan sekolah lanjutan
Dapat menyelesaikan sekolah dasar
Dapat memepelajari sesuatu tapi lambat
Tidak bisa mengikuti pendidikan di sekolah
|
Teori-teori inteligensi
1.
Charles
Spearman (1863-1945)
Orang yang berjasa mengembangkan pendekatan analisis faktor (factor
analysis) misalnya, ia percaya adanya suatu faktor intelegensi umum, atau
faktor “G” yang mendasari faktor-faktor khusus atau faktor “S” dalam jumlah
yang berbeda-beda. Orang dapat dikatakan secara umum pandai atau secara umum
bodoh, tergantung pada jumlah faktor “G” yang dimilikinya. Intelegensi
seseorang mencerminkan jumlah faktor “G” ditambah besaran bebrbagai faktor “S”
yang dimiliki. Seseorang yang harus memecahkan soal aljabar misalnya, maka yang
dibutuhkan ialah intelegensi umum orang tersebut dan pemahamannya akan berbagai
rumus serta konsep aljabar itu sendiri. Menurut Spearman, orang yang cerdas
mempunyai banyak sekali faktor umum, dan fsktor umum ini merupakan dasar dari
semua perilaku cerdas manusia, mulai dari keunggulan di sekolah sampai pada
kemampuan berlayar di laut (Myers, 1996).
Pandangan Spearman yang lebih menekankan pada intelegensi umum tersebut ditolak
oleh Louis Thurstone (1887-1955), yang menekankan pada aspek yang terbagi-bagi
dari intelegensi. Thurstone menganggap bahwa intelegensi dapat dibagi menjadi
sejumlah kemampuan primer.
Menurut Thurstone, intelegensi umum yang dikemukakan oleh Spearman
itu pada dasarnya terdiri dari 7 kemampuan primer yang dapat dibedakan dengan
jelas serta dapat digali melalui tes intelegensi, yaitu :
a)
Pemahaman
verbal (verbal comprehension), kemampuan memahami makna kata.
b)
Kefasihan
menggunakan kata-kata (word fluency), kemampuan memikirkan kata secara tepat
seperti penukaran huruf dalam kata, sehingga kata itu mempunyai pengertian lain
atau memikirkan kata-kata yang bersajak.
c)
Kemampuan
bilangan (numerical ability), kemampuan bekerja dengan angka dan melakukan
perhitungan.
d)
Kemampuan
ruang (spatial factor), kemampuan memvisualisasi hubungan bentuk ruang, seperti
mengenal gambar yang sama yang disajikan dengan sudut pandang yang berbeda.
e)
Kemampuan
mengingat (memory), kemampuan mengingat stimulus verbal.
f)
Kecepatan
pengamatan (perceptual speed), kemampuan menangkap rincian visual secara cepat
serta melihat persamaan dan perbedaan di antara obyek yang tergambar.
g)
Kemampuan
penalaran (reasoning), kemampuan menemukan aturan umum berdasarkan contoh yang
disajikan seperti menentukan bentuk keseluruhan rangkaian setelah disajikan
sebagian dari rangkaian tersebut.
2.
Psikolog
Howard Gardner (1983)
Mendukung gagasan bahwa kita tidak mempunyai satu intelegensi
tetapi malah memiliki banyak intelegensi (multiple intelligence) yang berbeda
antara satu sama lain. Masing-masing intelegensi ini meliputi
keterampilan-keterampilan kognitif yang unik dan bahwa masing-masing
ditampilkan di dalam bentuk yang berlebihan pada orang-orang berbakat dan idiot
(orang-orang yang secara mental terbelakang tetapi memiliki keterampilan yang
sulit dipercaya dalam bidang tertentu seperti melukis, musik atau berhitung).
Gardner juga mencatat bahwa kerusakan otak mungkin mengurangi satu jenis
kemampuan tetapi tidak pada kemampuan lain. Gardner juga membagi intelegensi
atas 7 aspek, yaitu :
1)
Logical
Mathematical, kepekaan dan kemampuan mengamati pola-pola logis dan bilangan
serta kemampuan berpikir logis.
2)
Linguistic,
kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kata dan keragaman fungsi-fungsi
bahasa.
3)
Musical,
kemampuan menghasilkan dan mengekspresikan ritme, nada dan bentuk-bentuk
ekspresi musik.
4)
Spatial,
kemampuan mempersepsi dunia ruang visual secara akurat dan melakukan
transformasi persepsi tersebut.
5)
Bodily
Kinesthetic, kemampuan mengontrol gerakan tubuh dan menangani obyek-obyek
secara terampil.
6)
Interpersonal,
kemampuan mengamati dan merespon suasana hati, temperamen dan motivasi orang
lain.
7)
Intrapersonal,
kemampuan memahami perasaan, kekuatan dan kelemahan intelegensi sendiri.
3.
Robert
J. Sternberg (1988)
Teori
kontemporer tentang intelegensi berasal dari Robert J. Sternberg (1988), yang
dikenal dengan “Triarchic Theory of Intelligence.” Teori ini merupakan
perluasan dari pendekatan psikometrik dan menggabungkannya dengan ide-ide
terbaru dari riset terhadap bagaimana pemikiran terjadi. Dalam hal ini,
Sternberg menyatakan bahwa intelegensi memiliki tiga bidang, yang disebutkannya
dengan Triarchic, yaitu :
1.
Intelegensi
komponensial
Intelegensi komponensial berhubungan dengan komponen berpikir yang
menyerupai unsur-unsur dasar dari model pemrosesan informasi. Komponen-komponen
ini meliputi keterampilan atau kemampuan memperoleh, memelihara atau menyimpan
dan mentransfer informasi, kemampuan merencanakan, mengambil keputusan dan
memecahkan masalah serta kemampuan menerjemahkan pemikiran-pemikiran sendiri
dalam wujud performa.
2.
Intelegensi
eksperiensial
Intelegensi eksperiensial difokuskan pada bagaimana pengalaman
seseorang sebelum mempengaruhi intelegensi dan bagaimana pengalaman itu
difokuskan pada pemecahan masalah dalam berbagai situasi.
3.
Intelegensi
kontekstual
Intelegensi kontekstual difokuskan pada pertimbangan bagaimana
orang bisa berhasil dalam menghadapi tuntutan lingkungannya sehari-hari,
bagaimana ia keluar dari kesulitan atau bagaimana ia bergaul dengan orang lain.
Intelegensi praktis atau kontekstual ini menurut Sternberg sangat diperlukan
untuk menyesuaikan diri dengan dunia nyata yang memang tidak diajarkan di
sekolah
Beberapa teori kontemporer tentang intelegensi lebih difokuskan pada
intelegensi praktis (practical intelligence) – intelegensi yang dihubungkan
dengan semua kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari dari Sternberg tersebut –
dibandingkan pada prestasi akademis dan intelektual. Hal ini karena kesuksesan
dalam hidup atau karir dibutuhkan suatu tipe intelegensi yang sangat berbeda
dengan yang dibutuhkan dalam kesuksesan akademis dan kebanyakan psikolog
percaya bahwa IQ tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kesuksesan
dalam berkarir. Orang yang tinggi dalam intelegensi praktisnya, lebih mampu
mempelajari norma-norma dan prinsip-prinsip umum serta mengaplikasikannya
secara tepat (Feldman, 1996).
B. OBYEK PENGAMATAN
Nama :
Muhammad Yusuf Maulana
TTL :
Kudus, 22 Februari 2002
Usia :
12 Tahun
Alamat :
Jetis Padurenan Rt.03 Rw.04 Gebog Kudus
Pendidikan :
MI ISLAHUSSALAFIYAH
Hobi :
Makan
TTD :
.........................
C. HASIL PENGAMATAN
Muhammad Yusuf Maulana biasanya dipanggil yusuf, dia anaknya baik,
sopan dan rajin. Dia anak pertama dari pasangan Siti Asiyah dan Rifa’i Tamyiz,
dan sekarang ini dia dihadapkan dengan yang namanya ujian akhir sekolah karna
dia kelas enam MI.
Yusuf di sekolah anaknya cukup pandai karna dia masuk lima besar
dalam peringkat di kelasnya.
Berikut
adalah hasil dari observasi atau pengamatan yang kami lakukan sebagai berikut :
1.
Aspek Kecerdasan Intelektual
Dalam kecerdasan Yusuf cukup pandai karena dia cukup tanggap dalam
menerima atau merespon balik dari setiap pelajaran yang diberikan gurunya
kepada dia. Dia juga cukup mudah bergaul dengan sesama temannya karena dia
cukup pandai disekolah, dan banyak dari teman-temannya itu meminta dia untuk
ikut belajar bersama dengannya. Seperti dalam pelajaran Matematika dia pandai
dalam pelajaran tersebut sebab dia suka dalam hal berhitung dan teman-temannya
itu sering ikut belajar saat ada PR matematika dengan dia. Dan saat ada masalah
yusuf itu cenderung tertutup tidak mau menceritakan kepada orang tuannya.
2.
Aspek
Kecerdasan Emosional
Dalam hal kecerdasan emosional ini Yusuf masih tergolong manja
terhadap orang tuannya, seperti ketika dia meminta sesuatu tidak dituruti maka
dia akan marah. Dan ketika di ejek teman dia langsung emosi dan bahkan marah
dengan temannya itu sendiri. Tetapi seperti anak kecil lainnya setelah marah
akhirnya pun akan baikan kembali.
Jadi berdasarkan penelitian yang kami teliti yusuf itu memiliki
kecerdasan yang cukup baik tetapi karena mungkin masih kecil dia sering manja
terhadap orang tuannya.
D. REFERENSI
Syamsu
Yusuf LN, Psikologi Perkembangan
Anak dan Remaja, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2009.
Desmita, Psikologi
Perkembangan, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2009.